Lensa-Informasi.Com – Jakarta – Merebaknya pandemi COVID-19 yang disusul dengan diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan berujung pada keterbatasan serta kesulitan finansial.
Masa sulit tersebut membuat peluang kerja menjadi makin menyempit. Namun, hal yang tak bisa dihindari bagi mereka yang bekerja di luar negeri adalah risiko menjadi sasaran perdagangan manusia yang merupakan kejahatan transnasional baru dan mengancam masyarakat global.
Adapun beberapa jenis praktik perdagangan manusia dimaksud seringkali muncul dalam kasus-kasus terbaru terkait kejahatan transnasional.
Sebagai contoh: “Suatu malam, saat saya merenung tentang orang yang saya cintai yang sedang bekerja di luar negeri, saya menerima pesan singkat darinya. Dia berbicara tentang betapa menyenangkan dan asiknya bekerja di sana dan berharap saya bisa bergabung dengannya.”
Dia pun berkata bahwa kita dapat meraih masa depan yang lebih cerah bersama-sama. Apakah contoh penipuan seperti ini lazim kita dengar?
Penipuan adalah jenis kejahatan dengan sejarah yang panjang dan telah hadir seiring dengan perkembangan bahasa dan peradaban manusia.
Di era modern ini kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kejahatan kuno itu berdimensi baru serta menciptakan ancaman yang tak terhitung jumlahnya terhadap keamanan global.
Seperti yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal Interpol, Jürgen Stock, pentingnya kerjasama polisi internasional yang kuat semakin diperlukan dalam menghadapi berbagai bentuk kejahatan transnasional baru, seperti perdagangan manusia dan penipuan.
Organisasi kriminal saat ini beroperasi dalam model yang sangat terorganisir, bahkan mirip dengan perusahaan yang memiliki pembagian kerja komprehensif, pertukaran informasi efektif, pembelajaran antar-sesama secara efisien, serta kolusi dan keterlibatan semua pihak.
Maka dari itu, untuk melawan kejahatan transnasional, lembaga penegak hukum di seluruh dunia harus bersatu dan berkolaborasi. Tidak boleh ada negara yang dikesampingkan, termasuk Taiwan, karena hal itu akan memberi kesempatan atau celah kepada para penjahat untuk beroperasi.
Sebagai upaya yang sejalan dengan misi organisasi kepolisian internasional Interpol, yaitu untuk memastikan dan mendorong kerjasama antar-otoritas penegak hukum di seluruh dunia, otoritas penegak hukum Taiwan siap berkolaborasi dengan rekan-rekan mereka di seluruh dunia untuk memerangi kejahatan.
Tujuanya adalah untuk mengurangi kesenjangan dalam jaringan keamanan global dan berkontribusi pada penciptaan dunia yang lebih aman.
Mengacu pada rekam jejak keamanan publik yang luar biasa, penyertaan Taiwan dalam upaya memerangi kejahatan transnasional harus diterapkan.
Sebagai sebuah negara dengan perekonomian yang cukup signifikan, Taiwan berada di peringkat ke-21 dalam perkembangan ekonomi dan peringkat ke-17 sebagai eksportir terbesar di dunia.
Taiwan juga berfungsi sebagai jembatan vital antara Timur Laut dan Asia Tenggara serta menjadi pusat utama pergerakan orang, barang, dan investasi.
Menurut hasil survei tahunan Expat Insider 2023, Taiwan meraih peringkat ke-5 sebagai tempat terbaik bagi para ekspatriat berkat keindahan alamnya, keramahan penduduknya serta berkat perkembangan ekonominya yang pesat dan sistem kesehatannya yang maju.
Tak hanya itu, kualitas hidup di Taiwan juga berada pada peringkat ke-2 secara global, mengungguli negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan Thailand.
Selain itu, dalam Laporan Kebahagiaan Dunia PBB tahun 2023 dengan mengukur tingkat kebahagiaan di 137 negara, Taiwan menduduki peringkat ke-4 di Asia.
Tidak hanya itu, menurut peringkat keamanan dan tingkat kejahatan yang dirilis oleh situs database Numbeo tahun 2023, Taiwan menduduki peringkat ke-3 dalam hal keamanan dari 142 negara yang dievaluasi, dan memiliki tingkat kejahatan yang sangat rendah, bahkan melampaui sebagian besar negara-negara Asia lainnya.
Dalam rangka mengakui upaya konsisten Taiwan melawan perdagangan manusia, selama 14 tahun terakhir Departemen Luar Negeri AS telah memberikan predikat Tingkat 1 kepada Taiwan, mengalahkan lebih dari 180 negara di seluruh dunia.
Pemerintah AS juga melaporkan bahwa meskipun terdampak oleh pandemi, Taiwan tetap berkolaborasi dengan sektor swasta untuk menekan perdagangan manusia dan tantangan sejenis lainnya.
Namun, Taiwan tidak hanya berhenti di sana dalam mengatasi masalah-masalah itu. Taiwan terus menunjukkan prestasi gemilangnya dalam menjaga keamanan masyarakatnya, di tengah maraknya tipe-tipe baru kejahatan transnasional yang terus bermunculan.
Oleh karena itu, dengan bergabung dalam jaringan Interpol dan menjalin kerjasama dengan lembaga penegak hukum global, semua pihak dapat bersama-sama berperan dalam memerangi kejahatan lintas batas itu.
Peran vital Taiwan bagi keutuhan Interpol Organisasi internasional memiliki peran penting dalam tata kelola global. Ikut serta dalam organisasi-organisasi ini adalah cara Taiwan untuk menjalin hubungan dengan dunia, memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya, seperti pengaruh implisit, dan memberikan kontribusi bagi komunitas global.
Namun sayangnya Taiwan telah dibatasi untuk berpartisipasi dalam Interpol selama lebih dari tiga dekade yang berakar dari masalah politik.
Di era globalisasi dan peningkatan kejahatan lintas batas, hal-hal pembatasan ini menjadi semakin mengkhawatirkan. Paspor Taiwan yang memiliki akses bebas visa ke 145 negara dan wilayah, kini menjadi sasaran utama para penjahat transnasional sehingga tak bisa lagi dihiraukan.
Kemampuan Taiwan dalam menjalankan pemeriksaan keamanan perbatasan dan melawan kejahatan transnasional terbatas karena akses yang minim terhadap intelijen kriminal yang umumnya dibagikan melalui sistem I-24/7 Interpol dan kurangnya akses ke basis data dari dokumen perjalanan yang dicuri ataupun hilang.
Keterlibatan Taiwan dalam Interpol yang selama ini dikecualikan memiliki arti bahwa pertukaran data informasi intelijen yang sangat penting seringkali sudah kadaluarsa dan tidak akurat.
Selain itu, dibatasinya Taiwan untuk berpartisipasi dalam pertemuan, kegiatan, dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Interpol telah menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam jaringan global keamanan dan anti-terorisme.
Kesiapan Taiwan untuk berkolaborasi dengan Interpol Pada 2022 polisi Taiwan menemukan beberapa jenis perdagangan manusia yang mengejutkan di Kamboja dan Myanmar. Sindikat kejahatan yang terorganisir itu beroperasi dengan model perusahaan dan menggunakan platform daring untuk merekrut orang dengan menawarkan peluang kerja menarik di luar negeri.
Para korban yang tergiur dengan janji manis dan palsu tersebut malah disekap, dipaksa bekerja di pusat-panggilan (call center) penipuan, dan menjadi sasaran berbagai bentuk perlakuan kejam seperti pemukulan, penyiksaan listrik, pemberian obat-obatan terlarang, dan kekerasan seksual.
Semua hal itu dilakukan untuk memaksa mereka terlibat dalam aktivitas ilegal, termasuk penipuan transnasional, pencucian uang kripto, serta perdagangan narkoba dan manusia.
Sayangnya laporan polisi Taiwan kepada Interpol tidak membuahkan hasil nyata. Sebagai gantinya, Taiwan harus mengandalkan bantuan polisi dari negara-negara mitra untuk berbagi informasi intelijen dan bekerjasama dalam penyelidikan.
Untuk mengatasi situasi ini Taiwan juga membentuk tim antipenipuan lintas pemerintah nasional yang bertujuan melakukan operasi pencegahan, penyelamatan, serta penyelidikan yang intensif untuk menghentikan lebih banyak warga Taiwan yang menjadi korban atau bagian dari penipuan.
Alhasil, sampai dengan Juli sebanyak 2023, 478 korban telah berhasil diselamatkan.
Berita tentang situasi ini telah menarik perhatian dunia internasional, dan kepolisian di Eropa, AS, Asia Tenggara, dan negara-negara lainnya di mana mereka memberikan tingkat kewasapadaan lanjut akan ancaman kejahatan baru ini yang melibatkan korban dari berbagai negara.
Dengan demikian, menggabungkan sumber daya internasional dan melakukan penyelidikan secara kolaboratif akan mendorong semua pihak untuk mampu menegakkan hukum dan mengatasi masalah keamanan global tersebut.
Pentingnya dukungan untuk partisipasi Taiwan di Interpol Pada 1984, ketika Tiongkok mengajukan permohonan untuk bergabung dengan Interpol, mereka memutuskan untuk menerapkan persyaratan yang bertentangan dengan semangat Konstitusi Interpol.
Mereka merampas hak dan status keanggotaan Taiwan, dan selalu menyebut “masalah politik” sebagai alasan untuk menghalangi partisipasi Taiwan dalam Intepol secara efektif.
Hal ini tidak hanya merusak upaya pencegahan kejahatan dan pertukaran intelijen, tetapi juga menghambat kemampuan Taiwan dalam memerangi kejahatan transnasional.
Namun kita tidak harus terjebak dalam pandangan negatif bahwa sejarah hanya terkait dengan kejahatan dan bencana. Karenanya, kami ingin mengajak semua pihak untuk mendukung partisipasi Taiwan dalam Sidang Umum tahunan Interpol sebagai pengamat.
Dengan begitu, otoritas kepolisian Taiwan akan memiliki kesempatan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan, pertemuan, dan pelatihan serta berinteraksi dengan negara-negara lain untuk mengatasi kendala dalam pertukaran intelijen terkait kejahatan transnasional.
Ini adalah masalah yang berkaitan dengan keamanan global, dan saatnya kita semua menyatukan suara bersama. Mari kita sertakan Taiwan dalam kerjasama dengan Interpol.
*Chou Yew-woei adalah Komisaris Biro Investigasi Kriminal Republic of China
(Taiwan)
Editor : Desi Arsandi.